08170415532 undangan kipas, undagan plismet, undangan etnik
1. Arti Pernikahan
Pernikahan
berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata
kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu.
Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya
dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh
Allh SWT.
Nikah
adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya
pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup
yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai,
yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk
mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah
tangga.
Nikah
termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah
Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Dari Anas
bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya,
beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan
menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia
dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)
2. Hukum Pernikahan
a. Hukum Asal Nikah adalah Mubah
Menurut
sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan
boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak
berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan
melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh
atau haram.
b. Nikah yang Hukumnya Sunnah
Sebagian
besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah. Alasan yang
mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai Al-Qur’an dan hadits
hanya merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan hadits
tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak semua amar
harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika hanya mubah.
Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah dan
berkehendak untuk nikah.
c. Nikah yang Hukumnya Wajib
Nikah
menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits
sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib. Terutama berdasarkan hadits
riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang
tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku”.
Selanjutnya
nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor
tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang
sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi
dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan
buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
Dari
Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab
sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu
Daud)
d. Nikah yang Hukumnya Makruh
Hukum
nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan telah
mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal
untuk memberi nafkah tanggungannya.
e. Nikah yang Hukumnya Haram
Nikah
menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan
yang dinikahinya.
Dalam
sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barangsiapa
yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa
nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Firman
Allah di dalam Al-Qur’an:
Maka
nikahilah wanita yang engkau senangi. (QS.An-Nisa/4:3)
Dan
nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka
dengan kemampuan-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), MahaMengetahui.
(QS.An-Nur/24:32)
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian1036 diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.(Q.S An-Nur/24:32)
Berpijak
dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka bahwa dapat
dijelaskan bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan faktor dan
sebab yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk
mengetahuinya. Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau
sakit gila, maka dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram
uinutuk menikah. Sebab, jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan
menimbulkan mudharat yang lebih besar pada orang lain.
3. Rukun Nikah
Rukun
nikah adalah unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu
pernikahan. Rukun nikah terdiri atas:
a. Calon suami, syaratnya antara lain
beragama Islam, benar-benar pria, tidak karena terpaksa, bukan mahram
(perempuan calon istri), tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia
sekurang-kurangnya 19 tahun.
b. Calon istri, syaratnya antara lain
beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak karena terpaksa, halal bagi
calon suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia
sekurang-kurangnya 16 tahun.
c. Sigat akad, yang terdiri atas ijab
dan kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan olehy wali mempelai perempuan dan
mempelai laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai perempuan dan kabul
diucapkan wali mempelai laki-laki.
d. Wali mempelai perempuan, syaratnya
laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak
sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Wali inilah
yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya.
Sabda Nabi
Muhammad saw.:
Dari
Aisyah ra., Rasulullah saw. bersbda: “perempuan mana saja yang menikah tanpa
izin walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah)”. (HR. Al-Arba’ah kecuali
An-Nasa’i)
Mengenai
susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
1) Bapak kandung, bapak tiri tidak sah
menjadi wali.
2) Kakek, yaitu bapak dari bapak
mempelai perempuan.
3) Saudara laki-laki kandung.
4) Saudara laklaki sebapak.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki
kandung.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki
sebapak.
7) Paman (saudara laki-laki bapak).
8) Anak laki-laki paman.
9) Hakim. Wali hakim berlaku apabila
wali yang tersebut di atas semuanya tidak ada, sedang berhalangan, atau
menyerahkan kewaliannya kepada hakim.
.
e. Dua orang saksi, syaratnya laki-laki,
beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang
ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Pernikahan yang
dilakukan tanpa saksi adalah tidak sah.
Sabda Nabi
Muhammad saw.:
Dari Aisyah
ra., Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua
orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hiban)
4. Pernikahan yang Terlarang
Pernikahan
yang terlarang aalah pernikahan yang di haramkan oleh agama Islam. Adapun
penikahan yang terlarang adalah sebagai berikut:
a. Nikah Mut’ah
Nikah
mut’ah adalah pernikahan yang diniatkan dan diakadkan untuk sementara waktu
saja (hanya untuk bersenang-senang), misalnya seminggu, satu bulan, atau dua
bulan. Masa berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas. Nikah mut’ah telah
dilarang oleh rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits:
Dari Rabi’
bin Sabrah al-Juhani bahwasannya bapaknya meriwayatkan, ketika dia bersama
rasulullah saw., beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, dulu pernah aku
izinkan kepada kamu sekalian perkawinan mut’ah, tetapi ketahuilah
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (HR. Muslim)
b. Nikah Syigar
Nikah
syigar adalah apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan
tujuan agar seorang laki-laki lain menikahkan anak perempuannya kepada
laki-laki (pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan
ini dilarang dengan sabda Rasulullah saw.
Dari Ibnu
Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan syigar. (HR.
Muslim)
c. Nikah Muhallil
Nikah
muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan yang tidak ditalak ba’in, dengan bermaksud pernikahan tersebut
membuka jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas
istrinya tersebut setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan
muhallil karena dianggap membuat halal bekas suami yang menalak ba’in untuk
mengawini bekas istrinya. Pernikahan ini dilarang oleh rasulullah saw. dengan
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
Dari Ibnu
Abbas ra., Rasulullah saw. melaknat muhallil (yang mengawini setelah ba’in)
dan muhallil lalu (bekas suami pertama yang akan mengawini kembali). (HR.
Al-Kamsah kecuali Nasai)
d. Kawin dengan pezina
Seorang
laki-laki yang baik-baik tidak diperbolehkan (haram) mengawini perempuan
pezina. Wanita pezina hanya diperbolehkan kawin dengan laki-laki pezina,
kecuali kalau perempuan itu benar-benar bertobat.
Firman
Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Pezina
laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan
perempuan musyrik; dan Pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan
pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu
diharamkan bagi orang mukmin. (QS. An-Nur/24:3)
“Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas oran-orang yang mu'min” (Q.S An-Nur/24:3)
Akan
tetapi, kalau perempuan pezina tersebut sudah bertobat, halallah perkawinan
yang dilakukannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Dari Abu
Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: “Bersabda rasulullah saw.: Orang
yang bertobat dari dosa tidak ada lagi dosa baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan
demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat, maka
dapat kawin dengan laki-laki yang bukan pezina (baiuk-baik)
B. HIKMAH PERNIKAHAN
Pernikahan
adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia
merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh
terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik
menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia
pada umumnya.
Agama
mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia.
Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan
jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak
terkendalikan.
Banyak sekali
hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai kesempurnaan
ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan
keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah ini
dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.
1. Pernikahan Dapat Menciptakan Kasih
Sayang dan ketentraman
Manusia
sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti
memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah perlu
dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan
pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya.
Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan
merupakan lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih
sayang keluarga.
Allah
berfirman:
Dan
diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia meniptakan pasangan-pasangan
untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada
yang demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum/30:21)
2. Pernikahan Dapat Melahirkan keturunan
yang Baik
Setiap
orang menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang shaleh adalah
idaman semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak yang shaleh
akan selalu mendoakan orang tuanya.
Rasulullah
saw. bersabda:
Dari Abu
Hurairah ra., Rasulullah saw., bersabda: “Apabila telah mati manusia cucu
Adam, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)
3. Dengan Pernikahan, Agama Dapat
Terpelihara
Menikahi
perempuan yang shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik. Pelaksanaan
ajaran agama terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan teratur.
Rasulullah saw. memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang shaleh.
Mempunyai istri yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya melaksanakan
setengah dari urusan agamnya. Beliau bersabda:
Dari Anas
bin malik ra., Rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa dianugerahkan Allah
Istri yang shalehah, maka sungguh Allah telah menolong separuh agamanya, maka
hendaklah ia memelihara separuh yang tersisa”. (HR. At-Thabrani)
4. Pernikahan dapat Memelihara
Ketinggian martabat Seorang Wanita
Wanita
adalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh dijadikan mainan.
Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Pernikahan
merupakan cara untuk memperlakukan wanita secara baik dan terhormat. Sesudah
menikah, keduanya harus memperlakukan dan menggauli pasangannya secara baik
dan terhormat pula.
Firman
Allah dalam Al-Qur’an:
Dan
bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. (QS. An-Nisa/4:19)
Karena itu
nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas,
karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina
dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki sebagai piarannya. (QS.
An-Nisa/4:25)
5. Pernikahan Dapat Menjauhkan
Perzinahan
Setiap
orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu seksual. Nafsu
ini memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah
adalah melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah
dan tetap mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama,
maka akan terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras
oleh agama.
Firman
Allah dalam Surah Al-isra ayat 32:
Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra/17:32)
Jelasnya,
hikmah pernikahan itu adalah sebagai berikut:
Menciptakan
struktur sosial yang jelas dan adil.
Dengan
nikah, akan terangkat status dan derajat kaum wanita.
Dengan
nikah akan tercipta regenerasi secara sah dan terhormat.
Dengan
nikah agama akan terpelihara.
Dengan
pernikahan terjadilah keturunan yang mampu memakmuram bumi.
C. KETENTUN PERKAWINAN DALAM KAPASITAS
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan
yaiutu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan memebentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan
menurut UU No. 01 Tahun 1974 mempunyai beberapa asas, yaitu sebagai berikut:
a. Asas sukarela (suka sama suka)
Perkawinan
dilangsungkan atas dasar suka sama suka, yaitu dengan adanya persetujuan dari
kedua belah pihak calon mempelai. Dalam hal ini tidak ada unsur paksaan.
Kalau ada perkawinan dengan paksaan, suami atau istri dapat melakukan
pembatalan perkawinan (Pasal 71 huruf FKHI).
b. Asas partisipasi keluarga
Untuk
melangsungkan perkawinan seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat
izin kedua orang tuanya .... (Pasal 6)
Apabila
ada seseorang yang belum berumur 21 tahun tidak mendapat izin orang tua, PPN
(Pegawai Pencatat Nikah) memberikan surat penolakkan untik mel;angsungkan
pernikahan.
c. Asas perceraian dipersulit
Sekalipun
talak adalah hak laki-laki, tetapi ia tidak boleh melakukan haknya itu
semena-mena.
Pasal 37
UU No. 01 TAHUN 1974 menyebutkan
sebagai berikut:
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan telah berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada
cukup alasan bahwa suami istri tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.
3) Tata cara perceraian di depan
pengadilan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan (PP No. 09 Tahun 1975
jo. UU No. 1 Tahun 1974). Alasan-alasan perceraian (diatur dalam UU No. 01
tahun 1974 jo. Pasal 19 PP No. 09 Tahun 1975) sebagai berikut:
Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan sebagainya
yang sulit disembuhkan.
Salah
satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.
Salah
satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau lebih.
Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahyakan pihak
lain.
Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau istri.
Terdapat
perselisihan yang trus-menerus antara keduanya.
d. Asas poligami diperketat (Pasal 4 No.
01 Tahun 1974)
1) Dalam hal seorang suami akan beristri
lebih dari satu, ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah
tempat tinggalnya.
2) Pengadilan yang dimaksud (1) pasal
ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang, apabila:
Istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri
Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
Istri
tidak dapat melahirkan keturunan.
(Untuk
lebih jelanya baca Pasal 41 PP Tahun 9 1975).
e. Asas kematangan berkeluarga/ berumah
tangga
(Diatur
dalam Pasal 7 uu no. 01 tahun 1974) sebagai berikut:
1) Perkawinan hanya diizinkan jika pria
mencapa umur 19 tahun dan wanita mencapai umur 16 tahun.
2) Apabila calon mempelai belum mencapai
umur tersebut diatas, dapat diminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat
yang ditunjuk kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
f. Asas mengangkat derajat kaum wanita
Berkat
perjuangan seorang pahlawan putri dari rembang R.A. Kartini, yang mempunyai
keteladanan untuk selalu menjunjung derajat wanita, terbuktilah sekarang
bahwa derajat wanita sama dengan pria.
2. Kewajiban Pencatatan Perkawinan
Seseorang
yang akan melakukan pernikahan terhadap seorang wanita, terlebih dahulu
melaporkan kepada pemerintah yang ditunjuk untuk menanganinya dan membawa
prosedur perkawinan, yaitu:
a. Melapor kepada PPN dan yang bertuga
mencatat laporan tersebut dari calon mempelai;
b. Melengkapi surat-surat untuk nikah
yang sudah dipersiapkan;
c. PPN mengumumkan minimal 10 hari
sebelum perkawinan dilangsungkan guna memberi kesempatan bagi yang akan
melakukan pencegahan;
d. Apabila tidak ada yang melakukan
pencegahan, barulah perkawinan dapat dilangsungkan dan kedua mempelai dapat
dibuatkan kutipan akta nikah.
3. Sahnya Perkawinan
Perkawinan
seorang muslim dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam,
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 01 Tahun 1974 berbunyi: “Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut agama (kepercayaan) masing-masing”.
4. Tujuan Pernikahan
Menurut
Kompilasi Hukum islam Pasal 3: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahwah”. Dalam wujud
perkawinan, kedua mempelai yang dapat membuat hati menjadi tenteram. Baik
suami yang menganggap istri yang paling cantik diantara wanita-wanita lain,
begitu juga seorang istri yang menganggap suaminyalah laki-laki yang menarik
hatinya. Masing-masing merasa tentram hatinya dalam membina rumah tangga.
Kemudian denganm adanya rumah tangga yang berbahagia dan jiwa yang tentram,
hati dan tubuh menjadi bersatu, maka kehidupan dan penghidupan menjadi
mantap, kegairahan hidup akan timbul, dan Allah menetapkan ketentuan-ketentuan
hidup suami istri. Untuk mencapai kebahagiaan hidup adalah dengan menjalankan
perintah-perintah agama.
a. Peran Pengadilan Agama dalam Hukum
Perkawinan Menurut UU No. 01 Tahun 1974 dan UU No. 7 Tahun 1989
Sesuai
dengan kedudukan sebagai pengadilan negeri, Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989
mengatakan: “Peradilan agma merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu
yang diatur dalam undang-undang ini”.
Dalam
pasal 3 disebutkan sebagai berikut:
(1) Kekuasaan kehakiman dilingkungan
peradilan agama dilaksanakan oleh:
(a) Pengadilan Agama;
(b) Pengadilan Tinggi Agama.
(2) Kekuasaan kehakiman dilingkungan
peradilan agama berpuncak pada Mahkamah agung, sebagai pengadilan negara
tertinggi.
Kekuasaan
pengadilan agama lebih lanjut diperinci dalam Pasal 49 ayat (1) yang
menegaskan bahwa peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antar orang-orang yang
beragama Islam dibidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, waisat, dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. Wakaf dan sedekah.
Sifat
kewenangan masing-masing lingkungan peradilan adalah absolut atau memaksa.
Hal-hal yang telah ditentukan menjadi kekuasaan atau kewenangan peradilan,
yang menjadi kewenangan mutlak bagi lingkungan peradilan, yaitu memeriksa,
memutuskan, dan menyelesaikannya. Sebaliknya setiap perkara yang tidak
termasuk kedalam bidang kewenangannya, secara absolut pula dia tidak
berwenang untuk mengadilinya.
Selanjutnya
dalam undang-undang republik indonesia No 7 Tahun 1989 pasal 66 sampai dengan
88, antara lain dikemuykakan bahwa perceraian yang dilakukan melalui sidang
pengadilan ada tiga macam. Ketiga perceraian itu adalah sebagai berikut:
1) Cerai talak
Cerai
talak adalah perceraian yang ditetapkan oleh hakim pengadilan agama karena
adanya permohonan suami kepada pengadilan agama untuk mengadakan sidang guna
menyaksikan ikrar talak. Ikrar talak diucapkan oleh suami atau wakilnya yang
diberi kuasa khusus dalam sidang pengadilan Agama yang dihadiri oleh istri
atau kuasanya.
2) Cerai gugat
Cerai
gugat adalah perceraian yang ditetapkan oleh hakim pengadilan agama karena
adanya gugatan istri atau kuasanya kepada pengadilan agama agar pengadilan
agama mengadakan sidang guna memutuskan hubungan pernikahan antara penggugat
(istri) dengan tergugat (suami).
Gugatan
perceraian didasarkan kepada salahsatu alasan berikut:
Salah
satu pihak (suami atau isrti) terkena pidana penjara.
Tergugat
(suami ) mendapat cacat atau penyakit sehingga ia tidak dapat
melaksanakan kewajiban sebagai suami
Adanya
persengketan antara suami istri
3) Cerai dengan alasan zina
Cerai
dengan alasan zina adalah perceraian yang ditetapkan oleh hakim pengadilan
agama karena adanya gugatan dari suami atau istri kepada pengadilan agama
agar pengadilan agama mengadakan sidang guna memutuskan hubungan pernikahan,
berdasarkan alasan zina. Misalnya, penggugat tidak dapat melengkapi
bukti-bukti bahwa tergugat betul-betul telah berzina dan yang tergugat pun
menyanggah, maka pengadilan agama menyuruh penggugat untuk berumpah.
b. Batasan-Batasan dalam Berpoligami
Undang-Undang
no. 01 tahun 1974 mengatur tentang pemberian ijin oleh pengadilan kepada
seorang suami yang bermaksud beristri lebih dari seorang jika dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Untuk itu seorang suami harus mengajukan
permohonan kepada pen gadilan agama.
Berdasarkan
petunjuk Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975, pihak istri yang suaminya
hendak berpoligami agar didudukkan atau dijadikan sebagai termohon. Jika
istri tidak dijadikan sebagai termohon, upaya hukuim dan banding terhalang
bagi istri yang berkeberatan untuk dimadu. Dalam hal itu perkawinan kedua,
ketiga, atau keempat seorang suami yang bermaksud poligami baru dapat dilaksanakan
apabila penetapan pengadilan agama memeberi izin sehingga memiliki kekuatan
hukum.
Dengan
merujuk penjelasan diatas, maka menurut hukum Islam mengenai batasan-batasan
dalam berpoligami didasarkan dengan firman Allah dalam Al-qur’an Surah An-nisa
ayat 31:
“Jika kamu
menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya,
niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke
tempat yang mulia (surga). (QS. An-Nisa/4:31)
Jalan
mengatasi hal yang negatif tidaklah dengan melarang apa yang telah dihalalkan
Allah. Tetapi seharusnya dengan jalan memberikan pengajaran, pendidikan, dan
pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang ajaran Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminuddin,
2008, Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara
http://www.bibliopedant.com/
|
contoh desain undangan kipas
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar